SOK SOK AN AKTIVIS

 



“organisasi organisasi apasih, sok sok an jadi aktivis!! Mending kuliah aja yang bener!!” ucap salah satu dosen via telpon kepada saya.

Penerimaan mahasiswa baru (PMB) universitas Muhammadiyah palangkaraya tahun 2022, memberikan sedikit kenangan yang menjadi cikal bakal banyak nya momen kepala ini bercengkrama dengan diri sendiri. Ucapan di atas terlontar kepada saya pada saat ingin mengajak salah satu mahasiswa untuk datang di acara organisasi kami (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), yang ingin memeriahkan penyambutan mahasiswa baru. Akhirnya riuh nya isi kepala memunculkan perihal tanya “lebih baik mana Mahasiswa yang kata nya aktivis atau Mahasiswa yang kata nya akademis??”

Mahasiswa adalah manusia bebas yang merdeka menentukan kemana tujuan hidup nya. Perlu di sepakati terlebih dahulu bahwa argumen diatas benar ada nya, dari segi umur pun, mahasiswa seharusnya sudah bisa membedakan yang mana yang hak dan yang batil, hal ini seharus nya dapat menjadi acuan mendasar untuk pengambilan sikap kita, harus seperti apakah mahasiswa yang ideal itu.

Mahasiswa “akademis” mengacu kepada mahasiswa yang berfokus mengejar ketuntasan studi nya di lingkup perkuliahan. Seringkali mahasiswa akademis lebih beroreintasi pada nilai IP dan IPK di setiap mata kuliah yang di jalani nya. Kesibukan nya berkutat pada kuliah, mengerjakan tugas, sangat akrab dengan teksbook atau jurnal, untuk proses persiapan mengejar karir yang mereka pilih.

Sementara golongan lain adalah mahasiwa “Aktivis” yang seperti nya sedang mati suri giroh atau semangat nya, ahh mari kita kesampingkan dulu hal tersebut. Mahasiwa aktivis sebenar nya juga mahasiswa biasa yang mengikuti semua agenda perkuliahan yang di susun oleh kampus. Tetapi, mereka tidak hanya berfokus ke kemampuan akademis nya saja. Para mahasiswa aktivis ini terjun keluar dari keseharian akademis mereka. Mereka terjun ke masyarakat ikut mengambil peran untuk memperjuangangkan keadilan melalui berbagai aspek baik sosial, budaya dan adat istiadat, bahkan politik. Para mahasiswa aktivis ini keras memperjuangkan pendapat mereka untuk tetap terdengar, menjadi oposisi dengan tujuan mengawal keadilan dan kesetaraan yang mengacu pada kesejahteraan masyarakat proletar.

Perdebatan terkait siapa yang lebih baik antara mahasiswa akademik dan mahasiswa aktivis sering kali membuat saya tergelitik, karena terdapat kesalahan konsepsi berfikir(logikal fallasy) disini. Bagi saya tidak seharus nya ada pengklasifikasian kelas atau kita sebut saja kasta mahasiswa di ruang perkuliahan yang seharus nya menjadi panggung bebas untuk setiap kalangan berekspresi, dengan tetap berdasar pada nilai nilai moral dan etika.

Ada kebiasaan buruk masyarakat kita dalam berfikir dan berdebat untuk memecahkan suatu masalah. Dalam perdebatan dan berfikir pada suatu perkara atau masalah harus lah ada skup yang jelas mengenai batasan batasan realitas yang tidak bisa di rubah. Bahkan di agama kita di ajarkan untuk memahami “konteks” dalam pengambilan keputusan pada suatu masalah. Makan babi itu jelas hukum nya haram. Tetapi, ada sebab sebab yang dapat manjadikan nya halal. Hal ini lah yang harus di mengerti dan terapkan dalam praksis bertukar pikiran, apalagi di kalangan perguruan tinggi.

Miris saya melihat deretan mahasiswa duduk rapi tanpa bantahan. Berkostum sama dari arah  sisiran rambut sampai berkilau nya ujung sepatu pantopel. Mendengar sabda tabungan para dosen seperti kaum nazi yang mengkultuskan seorang hitler. Diam maka tunai lah capaian akademis mu, maka kuliah seperti peternakan pegawai dengan nilai yang di karang dosen pengampu sesuai dengan ketundukan sang mahasiswa. Tapi ini persoalan lain, mari kita bahas lain kesempatan.

Persoalan lebih baik mana mahasiswa yang fokus ke akademis ataupun ke jalan aktivis tidak bisa di judge dalam satu frame sudut pandang, saya termasuk mahasiswa yang aktif di bebrapa organisasi tapi apakah itu akhirnya menjadi justifikasi saya terhadap nilai saya yang rendah di mata kuliah? Tentu tidak, tugas pokok seorang mahasiswa adalah menyelesaikan kewajiban pendidikan nya, seorang mahasiswa yang aktif menjadi aktivis menyuarakan hak hak sosial juga harus bisa memenuhi hak nya sebagai pelajar.

Oleh karena itu saya tidak setuju kalau ada pengklasifikasian kelas mahasiswa yang katanya aktivis maupun akademis. Sebab, semua sama dalam payung tanggung jawab pendidikan nya. Kurang tepat rasa nya, jika ada yang sampai mencemooh atau bahkan sampai menghalangi seorang mahasiswa untuk dapat berekspresi sesuai dengan “passion” nya. Semua mahasiswa memiliki kebutuhan nya masing masing, yang berangkat dari tujuan mereka menempuh pendidikan. Apakah itu untuk mendapat ijazah, perkerjaan, relasi, atau ingin belajar hal yang baru. Semua orang mempunyai kepentingan nya masing masing. Kalau pun jika seorang mahasiswa belum memiliki tujuan pasti nya, maka tidaklah beretika rasa nya untuk menghalangi rasa ingin tau dan rasa ingin mengeksplor dunia baru yang sangat berbeda dengan dunia pelajar yang mereka rasakan sebelum nya.

Hanyalah sebuah striotipe berlebihan jika aktivis di cap sebagai mahasiswa yang gagal dalam akademis, toh dalam realitas yang terjadi, secara persentase masih lebih banyak mahasiswa yang aktif dalam organisasi dapat menyelesaikan perkuliahan nya tepat waktu bahkan memiliki nilai IP yang bagus, dan banyak juga mahasiswa yang tidak tergabung kedalam organisasi justru yang kesusahan dalam menerima pelajaran di ruang ruang perkuliahan, bahkan sampai lambat lulus.

Katakan lah salah satu contoh nya adalah soe hok gie seorang aktivis yang sangat sering namanya membunga di telinga kita samua. Seorang mahasiswa yang luar biasa berani dan lantang dalam menyuarakan keadilan. Idealisme seorang soe hok gie juga jangan di pertanyakan lagi. Pada saat semua teman teman seperjuangan nya pada saat demostrasi 1966 banyak yang berhubungan romantis dengan para penguasa orde baru pada saat setelah penggulingan soekarno, soe hok gie tetap dengan pendirian nya pada visi misi perjuangan angkatan 66. Dia dapat lulus dengan nilai yang sangat tinggi dan tepat waktu. Tidak ada hambatan untuk memenuhi kewajiban pendidikan nya di tengah hiruk pikuk antara kuliah, organisasi, dan cinta di hidup nya. Bahkan pendiri organisasi MAPALA ini pun masih bisa berkerja menulis berita untuk berbagai surat kabar seperti kompas, harian kami, sinar harapan, mahasiswa indonesia, dan indonesia raya.

Masih banyak lagi mahasiswa mahasiwa aktivis yang bisa lulus dengan nilai memuaskan dan masih dapat tetap bersuara lantang meruntuhkan ke sewanang wenangan, jadi tidak ada alasan seorang aktivis tidak bisa bersaing dalam segi akademis, dan lucu jika masih ada yang menjeneralisir jika menjadi mahasiwa aktivis maka akan “bodoh” dan “gagal” dalam ruang ruang kelas perkuliahan, apalagi seorang civitas akademik yang seharus nya mengetahui bahwa kesimpulan dalam penelitian tidak bisa di ambil dari hanya beberapa sampling yang tidak menggambarkan suatu populasi.

Aktivis yang sering melolongkan ke adilan seharus nya dapat memberikan keadilan pada diri nya sendiri, hari ini masih banyak yang menganggap mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang gagal dalam akademik. Maka dari itu seorang aktivis harus dapat mematahkan striotipe berlebihan ini, dengan cara mahasiswa aktivis juga harus pandai akademik.

 

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama