Di tengah dinamika kebangsaan yang bergerak begitu cepat, Muhammadiyah tetap berdiri sebagai salah satu kekuatan moral terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Sejak berdiri tahun 1912, organisasi ini membawa jiwa pembaharuan yang tidak pernah padam. sebuah ikhtiar panjang untuk mengangkat martabat umat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kini, memasuki usia ke-113 tahun, jejak langkah Muhammadiyah kembali menjadi cermin penting tentang apa arti memajukan kesejahteraan dalam konteks Indonesia masa kini.
Sejak awal, gagasan besar Muhammadiyah tidak berhenti pada ajaran keagamaan semata, tetapi turut menyentuh aspek sosial, pendidikan, kesehatan, hingga pemberdayaan ekonomi. KH. Ahmad Dahlan pernah menegaskan bahwa ajaran agama tidak boleh berhenti sebagai wacana, melainkan harus “membawa manusia kepada keadaan yang lebih baik.” Prinsip sederhana namun visioner itu masih terasa relevan dan menjadi penegasan bahwa kesejahteraan sosial merupakan bagian integral dari dakwah.
Dalam konteks hari ini, kita melihat bahwa wajah Indonesia masih diwarnai kesenjangan. Modernisasi ekonomi memberi banyak kemajuan, tetapi tidak sepenuhnya menghapus ketidakmerataan. Di sinilah peran Muhammadiyah menemukan urgensi baru. Bukan hanya sebagai organisasi besar, tetapi sebagai pelopor perubahan sosial yang bekerja dalam senyap dan ketekunan.
Salah satu keunggulan Muhammadiyah adalah kemampuannya menempatkan pendidikan sebagai sarana transformasi sosial. Ribuan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) seperti sekolah, universitas, panti asuhan, rumah sakit hingga lembaga pelatihan yang dikelola Muhammadiyah bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga memutus rantai kemiskinan struktural. Buya Syafii Maarif sering menegaskan bahwa pendidikan bagi Muhammadiyah adalah “jembatan menuju martabat.” Penegasan itu memberi pesan bahwa perjuangan mencerdaskan bangsa masih menjadi “core agenda” untuk memperkuat kesejahteraan nasional. Selain pendidikan, sektor kesehatan menjadi bukti nyata kontribusi Muhammadiyah. Jaringan rumah sakitnya tidak hanya tersebar luas, tetapi juga berperan sebagai penyelamat bagi masyarakat kecil. Dalam banyak kasus, fasilitas kesehatan Muhammadiyah menjadi tumpuan bagi mereka yang tidak mampu mengakses layanan kesehatan komersial. Di tengah birokrasi dan ketimpangan layanan publik, peran ini menjadi semakin vital.
Transformasi kesejahteraan juga tercermin dari kiprah Muhammadiyah di bidang sosial dan kebencanaan. Lembaga seperti MDMC menunjukkan bahwa organisasi ini memiliki keseriusan tinggi dalam kerja-kerja kemanusiaan. Tidak berlebihan jika banyak pihak menilai bahwa Muhammadiyah telah berperan sebagai “pemerintah kedua” dalam konteks penanganan bencana dan respon cepat kemanusiaan. Di saat negara kadang tersendat oleh prosedur, Muhammadiyah bergerak cepat, efisien, dan berorientasi langsung kepada warga terdampak. Namun, memasuki usia 113 tahun, tantangan baru menunggu di depan mata. Ketimpangan ekonomi yang semakin kompleks, perubahan iklim, krisis moral di ruang publik, hingga dinamika digitalisasi merupakan isu-isu yang memerlukan cara pandang baru. Pada titik ini, Muhammadiyah perlu terus meneguhkan diri sebagai organisasi yang bergerak lintas zaman. Prof. Haedar Nashir mengingatkan bahwa Muhammadiyah harus “menjadi kekuatan pencerah, bukan hanya dalam dakwah, tetapi dalam membangun tatanan sosial yang berkeadaban.” Kalimat itu menyiratkan tuntutan bahwa perjuangan memajukan kesejahteraan bukan hanya soal mengentaskan kemiskinan, tetapi membangun struktur sosial yang adil dan bermartabat.
Salah satu kunci memperkuat kesejahteraan bangsa adalah memperluas pemberdayaan ekonomi umat. Muhammadiyah memiliki modal sosial besar untuk mengembangkan ekonomi berbasis komunitas, industri kreatif, serta koperasi modern. Jika dikelola dengan visi jangka panjang, sektor ini dapat menjadi penyangga ekonomi nasional sekaligus pelindung masyarakat dari ketidakpastian global. Kesejahteraan tidak pernah tercapai tanpa kemandirian, dan kemandirian ekonomi umat adalah fondasi penting menuju cita-cita besar itu. Selain itu, Kader-kader dan anak muda Muhammadiyah menjadi harapan baru yang tidak boleh diabaikan. Di tangan mereka, dakwah pencerahan dapat dikemas dengan pendekatan kreatif dan lebih inklusif. Tantangan digital adalah dunia mereka, dan Muhammadiyah perlu memberi ruang luas untuk inovasi yang mereka bawa. Dengan kolaborasi lintas generasi, organisasi ini akan tetap relevan di tengah perubahan zaman yang demikian cepat. Pada akhirnya, memajukan kesejahteraan bangsa adalah proses panjang yang membutuhkan ketekunan moral, kecerdasan sosial, dan komitmen untuk terus bergerak. Muhammadiyah telah memberi teladan tentang bagaimana organisasi keagamaan dapat bertransformasi menjadi kekuatan kemanusiaan yang sangat nyata. Dari sekolah, rumah sakit, panti asuhan, hingga relawan kebencanaan semua itu adalah bukti bahwa dakwah bukan hanya kata-kata, tetapi tindakan yang membawa manfaat luas.
Di usia ke-113 tahun ini, Muhammadiyah kembali mengingatkan kita bahwa cita-cita besar tidak lahir dari retorika, tetapi dari kerja nyata yang dilakukan secara istiqamah. Sebagaimana pesan KH. Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Pesan itu adalah napas moral yang menghidupkan seluruh langkah organisasi ini. Dan selama semangat itu tetap terjaga, Muhammadiyah akan terus menjadi suluh peradaban bagi bangsa yang tidak hanya menerangi, tetapi juga menuntun Indonesia menuju kesejahteraan yang lebih adil dan berkeadaban.
Penulis : Ahmad Habibi
Telah diterbitkan di Website Pusat Studi dan Inovasi Universitas Muhammadiyah Gersik sebagai peserta lomba opini dalam Rangka Milad Muhammadiyah ke-113.

Posting Komentar